Tulisan dalam blog ini sekedar catatan dan kumpulan pengalaman...

Jumat, 20 Mei 2011

ROKOK VS FILM BIRU. "ANTONI NURDIN"

Akhir juli 2009 dalam perjalanan saya menuju Jakarta, dengan menggunakan kapal laut pelni Lambelu, guna menyelesaikan studi  Pasca Sarjana di Universitas Muhamdiyah jakarta dengan lama perjalanan tempuh lima hari lima malam dari Ternate, ternyata banyak pengalaman menarik yang ditemukan dalam pergaulan sesama penumpang kelas ekonomi. Suasana kebersamaan dan silaturhmi terbangun antara penumpang satu dengan lainnya. Hal ini mungkin saja karena gelombang laut yang cukup bersahabat, serta banyaknya fasilitas hiburan yang disuguhkan oleh pihak lambelu. Baik itu mainan anak-anak/dewasa (plais teasen), live musik karoke maupun band, hingga tersedianya fasilitas bioskop mini.
Suasana demikian semakin asik saja berlayar dengan kapal laut lambelu bahkan mungkin saja dilain  waktu  saya berkeinginan untuk mengulangi perjalanan tersebut. Namun saya cukup merasa tersiksa sebagai seorang pecandu rokok berat, sebab demi keamanan seluruh penumpang maka dilarang keras untuk mengisap rokok didalam kabin kabin kapal, dan hanya dibolehkan pada ruang-ruang terbuka. Tapi kondisi tersebut masih ada juga sebagian penumpang yang mencuri kesempatan untuk merokok didalam kabin dengan secara sembunyi-sembunyi dari petugas di atas kapal yang sewaktu-waktu sering berpatroli.
Sewaktu diumumkan bahwa penumpang dilarang merokok, tiba tiba ada penumpang asal Namlea dengan tujuan Surabaya yang saya taksir umurnya enam puluh tahun mengeluhkan larangan tersebut, padahal dia bukan pecandu rokok berat. Memang kata dia larangan tersebut adalah kebaikan bersama seluruh penumpang dari sisi kesehatan, serta mencegah terjadinya bahaya kebakaran diatas kapal. Tetapi kok pemutaran filim biru di bioskop mini dilegalkan. Padahal hal tersebut sangat mempengaruhi mentalitas geerasi muda dan implikasinya cukup besar ujar sang penumpang tua tersebut. Pernyataan penumpang tersebut menjadi pertanyaan tersendiri dalam batin saya , apa iya fasilitas bioskop mini di Lambelu memutar flem biru.
Untuk menjawab semua teka-teki tersebut saya dengan seorang kenalan perempuan asal Namlea sebut saja namanya Melati yang  mau ke Jakarta ingin membuktikan kebenaran tersebut. Setelah membeli karcis yang hanya seharga lima ribu rupiah, kami pun mencoba masuk dalam bioskop yang kira-kira luasnya 30x 25 meter persegi dengan kapasitas 80 tempat duduk dan lebar layer dua kali dua meter persegi.

Benar saja, awalnya ketika kami masuk hampir semua penontonnya laki laki dan hanya dua perempuan termasuk teman saya. Setelah bebarapa saat kami berada di dalam ruangan bioskop yang lampunya remang tersebut flem biru diputar dengan pemain utamanya dari daratan Eropo. Saya terkesima sesaat, sambil memikirkan apa yang dikeluhkan oleh penumpang tentang larangan rokok tapi flem biru dibolehkan, terbukti kini. Bahkan kata sebagian penumpang yang sudah sering berangkat dengan menggunakan kapal laut hal ini sudah berlangsung lama bahkan lumrah di kapal lambelu soal pemutaran Flem biru.

Saya jadi berpikir inikah wajah negeriku yang setiap saat sring diteriakan oleh para penguasa tentang pentingnya moralitas dikedepankan dalam bisnis, tapi kok pemerintah sendiri malah berbisnis tentang hal tersebut, lalu dimana control dan pelaksanaan Undang-undang anti pornografi dan porno aksi di simpan.

Dalam suasana kebingungan tersebut saya sih masih pingin juga menikmati flem biru tersebut selain sudah terlanjur membeli karcis juga tanggung jika tidak diselesaikan. Tapi karena teman wanita yang saya kenal diatas kapal, adalah wanita baik-baik, dia menawarkan untuk keluar saja dan membatalkan acara nonton tersebut, sehingga kami tidak kurang hanya menyaksikan flem tersebut selam kira-kira sepuluh menit.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa masih sangat sulit menerapkan aturan yang mumpuni soal pornografi di Indonesia karna ternyata masih banyak juga yang masih pingin menikmatinya. Diakhir tulisan ini saya hanya berpesan pada generasi yang memiliki kesadaran moral untuk berpikir positif dengan lebih mengedepankan moralitas diri diatas segalanya. Wallahu alam Bisawab
           

Rabu, 11 Mei 2011

Pentingnya Berhayal


 
La Dedu, begitu nama akrab dimata ‘abang-abangnya’. Sebenarnya ia bernama lengkap Dedu Purnomo. Namun, nama La Dedu sulit terbuang dari memori bagi yang mengenalnya. Kenapa? La Dedu dulunya seorang pecundang, sedikit menipu, licik, nakal, suka buat masalah, agak kuno-an, dan berselera tinggi.

Lebih dari itu, La Dedu seorang penghayal kelas kakap. Padahal sebenarnya, ia hanya anak seorang petani miskin, bahkan sangat miskin di Parauna Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara sana. Namun kini, keadaan itu terbalik 180 derajat. Kini ia menjadi pebisnis yang terbilang berhasil di Kota Kendari. Bahkan Pemilu 2009 lalu ia coba mengadu nasib sebagai calon anggota DPR-RI.

Sebelum membahas siapa Dedu Purnomo kekinian, mungkin ada baiknya kita flashback ke masa lalu, untuk bisa memetik hikmah dari perjalanan hidup seseorang.

Ya! Dedu Purnomo, namanya kejawa-jawaan, padahal sebenarnya ia berdarah Tolaki[1] asli.. Dia mengaku sendiri kalau nama sebenarnya hanyalah ‘Dedu’ saja. Gak pake embel-embel. Tapi karena terlalu pasaran, dan ia tidak ingin disebut kampungan, maka ia menambah nama belakangnya dengan kata ‘Purnomo’, maka kemudian ia berubah dan dikenal dengan nama Dedu Purnomo. ”Supaya lebih keren dan terkesan kaya,” khayalnya saat itu

Sebenarnya, nama ini ia pakai ketika masuk pramuka, khususnya saat ia berkiprah di Kwartir Daerah Sulawesi Tenggara. Kok bisa? Ya bisalah! Sebab siapapun bisa masuk anggota Pramuka. Meski berasal dari keluarga miskin, namun Dedu masih bisa melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, bahkan menyelesaikan pendidikan S1 di Unhalu Kendari dengan gelar Sarjana Pendidikan.

Menjadi mahasiswa baginya hanya secara kebetulan. Saat masih berstatus ’La Dedu’, ia banyak mendapat dorongan. Bahkan saat SMA ia nyaris putus sekolah, belum lagi ia masuk di sekolah swasta. Bahkan Kak Abdul Rasyid (kini ia di Jakarta) kerap mendorongnya untuk menamatkan pendidikannya. ”Kamu kok sekolah di SMA Battrey, kamu harus bisa yang lebih baik,” kata Kak Rasyid yang menyebut SMA Battrey itu sebagai kiasan sekolah yang sama sekali belum dihitung di Kota Kendari. Termasuk, saat tamat SMA, Kak Rasyid banyak mendorongnya untuk masuk perguruan tinggi entah dengan cara apa. Yang penting kuliah.

Entah bagaimana caranya, Dedu akhirnya lulus di Unhalu. Sebenarnya anaknya cerdas, cuman bawel, sok tahu, suka buat orang tertawa, karena hayalan-hayalannya yang tidak masuk akal saat itu. Dedu saat itu hidupnya ’mondar-mandir’ dari rumah keluarga yang satu ke keluarga yang lain. Mungkin banyak yang sebel padanya, tapi ia tidak mau ambil pusing, yang penting bisa kenyang, bisa tidur dan tentunya dapat uang pete-pete[2].  Hahahaha...

Pondok Kenangan
Mungkin bosan dengan kehidupan mondar-mandir-nya, Dedu pun stamplas di Kwarda Sultra. Maklum saat itu, memang banyak anak Pramuka yang ’ngekost’ disana. Ia pun menjadi penghuni disalah satu pondokan tua Kwarda. Sebenarnya pondokan ’warisan’ dari abang-abang pramukanya, mulai dari Kak Rasyid, Kak Arwan, Ruslan Latif, Kak Andi Adha, Kak Samsul Usman, Kak Dahlan, terus Dedu dan kini diwariskan lagi kepada Kak Bona (Arisman Silondae). Aku pun pernah sama-sama hidup disana, disanalah Aku mengenal watak seorang Dedu Purnomo.

Pondok itu sangat sederhana, atapnya seng campur daun nipa plus asbes, dindingnya papan lapuk tak pernah di cat, lantainya retak. Dan yang paling lucu, bisanya ruang tamu berada di depan, tapi yang ini justru di ambil alih sebagai dapur. Mungkin penggambaran, kalo penghuninya serba susah. Ukurannya pun sangat sempit, kira-kira 3x4 meter. (ingat ukuran foto 3x4 cm, Heheheheheh...) Lebih lucu lagi, kamarnya dihiasi poster-poster artis dengan latar koran, jadi mau tidur tak perlu susah-susah, cukup baca koran di dinding sampai mata ngantuk, sambil menghayalkan artis, kapan-kapan bisa dipacari.....

Tapi, pondok itu dianggap angker sebagian cewek-cewek Kendari. Gak tahu kenapa, tapi banyak yang menyebut, pondok eksekusi, pondok jorok..Aku tidak paham apa artinya, yang pasti Aku pernah mondok disana bersama Dedu, saat masih menjadi wartawan Kendari Pos, senang juga, sebab bawaannya, happy saja.

Disanalah Dedu ‘tumbuh’. Ia menjadikan pondok itu sebagai tempat belajar, tempat berkhayal dengan hayalan setinggi-tingginya. Bahkan sempat naik pitam karena masing-masing tidak ingin dikalahkan khayalannya. Ceritanya begini, Kak Jainuddin Ladansa (kini sekretaris Kwarda Sultra) pernah tanya Dedu. ”Ded, kalo kamu punya duit banyak, kamu mau beli apa?” tanya Kak Jainuddin.

Dedu menjawab dengan khayalan tinggi. ”Ia kak, kalo Aku punya duit banyak, Aku mau jadi pebisnis”.
”Bisnis apa” kata Kak Jai lagi.
”Aku mau beli pulau Jawa, terus orang-orangnya Aku pindahkan ke Irian Jaya. Nah, Pulau Jawa itu Aku buat empang semua, karyawannya orang-orang Kwarda,” kata Dedu dengan serius berkhayal.

Kak Jai menimpali, ”Berarti Aku tidak kalah dong Ded”.
”Kok bisa kak, sudah tidak ada yang kalah-mi kekayaanku itu” sergah Dedu
”Aku, kalo punya uang, Aku mau beli Pulau Sumatera, terus Aku juga buat empang. Sumaterakan lebih besar dari Pulau Jawa. Nah nanti tanah yang Aku keruk Aku timbun pulau Jawa..jadi empangmu tertimbun semua, hahahah” spontan Kak Jai ngakak.
”Bisanya” muka Dedu memerah karena kalah khayalan. Dedu ’yang kalah’ ngeloyor pergi..

Memang naluri berakal kalau tidak mau disebut licik, dimiliki Dedu. Aku juga pernah merasa ’ditipu’ olehnya. Ceritanya begini. Aku punya duit untuk beli handphone. Maklum saat itu Aku sudah bekerja jadi wartawan. Aku langsung konsultasi sama Dedu, lagian rencananya mau bagi-bagi rezeki sama dia. Dedu dan dua rekan lagi, namanya Khalik (kini seorang guru di Bombana) dan Munib Untung (kini aktif di LSM) pun sumringah..wah makan lagi nih..pikir mereka.
”Ded, Aku sudah beli handphone, tinggal kartunya” kataku
”Merek apakah? Ow Erickson, hmm, adaji, kartuku saja beli” kata Dedu..
”Berapakah?”
”150 ribu saja, kan punya teman jadi murah dikit, apalagi tidak ada pulsanya” kata Dedu

Aku yang sumringah karena punya handphone baru, langsung bayar. Pikir-pikir, membantu teman. Terus pergi ke counter untuk isi pulsa. Nah, (ini yang lucu) saat beli pulsa, Rp 100 ribu, Aku tanya yang punya counter.
”Itu kartu perdana berapa Mbak?” tanyaku
”30 ribu plus pulsa 10 ribu,” kata Mbak itu...

Aku pun teringat Dedu, yang Aku beli kartunya 150 ribu tanpa pulsa lagi. ”kena deh..!!” umpatku sama Dedu.

Saat pulang semuanya kuceritakan padanya. Dedu hanya ngakak, dan sudah dengan nikmatnya menimati sebatang rokok, secangkir kopi panas, beberapa bungkusan indomie terlihat di dapur. Habis belanja besar-besaran. Aku hanya tertawa kecil, dari ulah mereka itu.

Jadi Bisnisman Sukses

Perjalanan hidup Dedu begitu panjang. Ia punya pacar namanya Ningsih (kini almarhum), yang kemudian menjadi istrinya. Ia perempuan berjilbab besar. Cintanya sama Nining, ia jalani dengan penuh cobaan. Aku ingat betul saat melamar, ia ditolak keluaga Nining. Makanya ia nekad saja menikahinya, tanpa persetujuan orang tua. Aku paham benar, karena Dedu dan sang Istri pernah ke Bau-Bau ’minta petunjuk’ dari Aku sebagai sahabatnya.

Singkat cerita, keduanya selesai dan jadi sarjana, menikah, dan hidup dengan pas-pasan. Konon saat menikah, ia minjam duit dari Kak Ruslan Latif. Seorang senior di Pramuka.

Ia pindah kost, dari ngetamp di Kwarda menuju sebuah kamar kost di lorong Torada, dekat kost rekan Munib Untung. Aku pun sering mampir dan nginap disana dirumah sederhananya, meski Aku paham mereka hidup serba sulit. Apalagi saat itu Aku dan istri dua-duanya sudah PNS, punya rumah, tapi di Baubau sana..

Aku dan istri acap kali ’jenguk’ mereka, termasuk Aku waktu dipindahkan ke Kolaka. Sekedar bawa apalah yang bisa dinikmati bersama. Tapi beberapa bulan kemudian Aku dan Dedu tidak pernah jumpa lagi. Aku hanya dengar saat istrinya mau melahirkan, dan sama sekali tidak punya uang, padahal harus masuk rumah sakit. ”Kasihan betul” pikirku mendengar informasinya...

Satu tahun informasi kami terputus..tiba-tiba Aku ke Kendari urusan kantor, dan bertemu di Hotel Attaya. Kami berpelukan. Aku pun membatin...Dedu tampil dengan motor Thunder hitam, jaket kulit, dan kulit sudah mulai bersih. Pokoknya ada tanda-tanda kesuksesan dari cara penampilannya, meski dengan logat dan karakter yang sama.

”Refa, dirumahmi nginap nah!” ia memanggilku Refa dari nama anak tertuaku.
”Ok bos, yang penting ada air buat mandi” kataku.
”Gampang itu, kalau tidak ada air, ada sungai dibelakang rumah” ujarnya serius,

Akupun mulai berpikir ada sungai dibelakang rumahnya, Kapan? Yang kupikir dia pasti sudah pindah kost.
”Dimanakah Ded?”
”Di Punggolaka hae..pokoknya mari-mi kesana, janganmi buang-buang uang di hotel” kini ia lebih serius.[3]

Sesaat kemudian ia membonceng Aku menuju sebuah rumah dibilangan Punggolaka sana. Sebuah rumah besar permanen, punya kamar banyak lengkap dengan prabotnya.
”Ei, kenapa begini besar kamu sewakah?” tanyaku memprotes rumah besar yang kukira rumah kos itu.
”Anu Ref, Aku butuh yang besar karena buku-buku ini mau disimpan kemana”

Aku mulai terheran-heran sambil membatin. Hebat juga nih teman yang satu ini. Proyek apakah. Dia tampak paham dengan alur pemikiranku. ”Ref, Aku ada kerjaan dikit, makanya kuambil rumah ini” katanya.

Aku masih bingung dan berpikir terus. Tiba-tiba Almarhumah Nining istrinya, langsung jawab polos.
“Ini rumah punya kami Kak, dari uang hasil tabung-tabung” katanya.

Aku tidak sadar angkat dua jempol. Aku angkat topi buat seorang Dedu yang ‘penghayal tinggi’. Aku terus bergumam dalam hati, nasib orang siapa bisa tebak. Yang pasti, Aku dan Dedu banyak ngobrol tentang kehidupan, tentang rencana esok mencari perkantoran dan menjalankan lobi-lobi untuk mendapatkan proyek-proyek bernilai milyaran rupiah. Benar-benar ia sudah berangkat dari keterpurukan.

Beberapa waktu kemudian, Dedu telah menjelma menjadi Dedu Purnomo, seorang pebisnis tulen, dengan omset mungkin milyaran rupiah. Namun Akung, kekayaan materi yang dimilikinya, tak diikuti Nining. Dia meninggal beberapa bulan kemudian disaat sang suami baru saja menghadiahi sebuah mobil baru, dan Nining lulus sebagai PNS di Bombana. “Supaya aktif, ia masuk PNS dan alhamdulillah lulus” kata Dedu berkaca-kaca.

Hampir dua tahun lamanya ia menduda ditemani dua putra keAkungannya, Ibong dan Wai, yang besar tanpa seorang ibu. Syukurnya, secara materi kedua putranya tak sesusah orang tuanya dulu. Dedu-pun menikahi partner bisnisnya, seorang perempuan asal Bandung yang bekerja di Bogor. Yang kemudian menjadi ibu yang baik bagi ‘Ibong dan Wai’. Beruntung dia mendapat istri yang lembut, punya prinsip, berpendidikan dan yang terpenting menyayangi ’Ibong dan Wai’ sepenuh hati... ”Alhamdulillah” kata Dedu..

Dedu Purnomo, ia pun tidak semiskin dulu, kini dia punya Ruko di dua tempat yang berbeda, punya kantor sendiri, punya dua hotel yang kini masih dibangun di Kota Kendari dan Bombana. Membangunkan rumah kedua orang tuanya. Lebih dari itu, Dedu tak lupa diri. Ia malah lebih rajin beribadah, dengan ucapan-ucapan ’standar La Ilah Illallah’ dan kalimat tasbih lainnya.

Ia pun masih bisa membantu rekan-rekannya, membantu Pramuka jika ada kegiatan. Dan, Aku juga seolah dimanjakan oleh Dedu..jika Aku di kendari, maka ia tak pernah lepas kontrol darinya, mu,lai dari memakai kendaraan gratis, nginap sesuka hati, dan ngobrol ngakak sepanjang hari jika ada waktu senggang...

Dedu pun masih mengingat dengan masa susahnya dulu. Saat di kendaraan Aku bercengkrama dengannya.
”Tidak mimpikah, Ded?”
Wei...Aku sadar ji sebenarnya, kalau Aku masih seperti bermimpi”
Ko ingat-ji Kartu Handpon-mu dulu? Hahahahahahahah....” ia tergelak lepas mengigatkan masa ’tipu-tipunya’ dulu...

(**)


[1] Tolaki suku asli Sultra yang banyak mendiami wilayah Kendari dan Konawe Raya.
[2] Pete-pete, sebuatan orang sulawesi pada angkutan kota.
[3] Hae, mi dan ji adalah tambahan penegasan kata. Banyak dipakai dalam dialeg sulawesi.