Tulisan dalam blog ini sekedar catatan dan kumpulan pengalaman...

Rabu, 01 Februari 2012

Antara Ketelanjangan dan ke-Tauhidan ”Mencari Tafsir Baru Masa Depan Maluku Utara” Antoni Nurdin

Al-Qur’an menyatakan dengan jelas dan tegas: wa la taqulu li maiyuqtalu fi sabilillah amwat bal ahya, dan janganlah kamu katakana bahwa yang lalu itu mati melainkan tetap hidup (Al Baqarah:154), juga wal tandhur nafsun ma qaddamat lighad, hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Al Hasyir:18).

Penyair dan politikus Romawi Cicero (Marcus Tullius) yang hidup pada 106-43 Sebelum Masehi berseru Historia vitae magistra, sejarah adalah guru kehidupan. Kemudian kaum Yunani berkata historia panta rei, sejarah selalu mengalir selalu berulang. 
Sejarah atau kisah-kisah masa lampau di dalamnya mengandung pelajaran, peringatan, dan kebenaran yang dapat dijadikan cermin bagi proses berkaca diri pada masa kini, seraya merancang dan meniti masa depan. Sejarah juga berfungsi sebagai early warning, peringatan dini, sekaligus pengukuh hati dalam proses mencari dan menemukan identitas diri.
Siapakah kita dahulu dan siapakah kita sekarang dan siapakah kita di masa depan? Setiap manusia, kapan dan di mana pun, yang menghayati hidup secara sungguh-sungguh akan mendapatkan dirinya berhadapan muka dengan masalah-masalah asasi tersebut. Dengan membaca sejarah secara tenang dan arif tanpa dibebani prasangka dan kepentingan, pada akhirnya akan mengantarkan kita terbangun, semacam rasa kagetnya Archimedes karena penemuannya, lantas meloncat, berlari, dan berteriak: eureka! Aku telah menemukannya!

Dalam konteks inilah, membaca kembali sejarah Maluku Utara dengan jernih menjadi penting dan niscaya, ketimbang mengais-kais kejayaan masa lampau yang telah silam kemudian menghamburkan jargon-jargon murahan dengan kepongahan luar biasa. Sebagai pembaca sejarah dengan memahami dasar konsepsinya, kita pun ditantang untuk secara rendah hati menjawab sebuah pertanyaan sederhana: relevansi apakah yang ada pada esensi sejarah masa lalu dengan masa kini yang harus dipertahankan dan dikembangkan serta yang harus “ditanggalkan dan ditinggalkan” demi masa depan Maloku Kie Raha?
***
Sejak Maluku Utara menjadi provinsi (12 Oktober 1999), apalagi hari-hari ini, nama “Maluku Utara” semakin sering diucapkan, ditulis besar-besar pada spanduk, umbul-umbul, poster, baliho, dinding toko dan warung, selebaran rayuan caleg/calon senator/cagub/cabup/cawakot, juga halaman-halaman kertas kerja, serta media massa lokal. Setiap orang seperti berlomba paling keras meneriakkan nama “Maluku Utara” atau merasa paling berhak atas keberadaan provinsi ini. Paling tahu dan mengerti sejarah panjang peradabannya, bahkan dalam hal mengerogoti kekayaan alam dan keuangan daerahnya! Begitu kira-kira makna ringkasnya.

Serentak dengan itu sejarah seolah-olah bangkit atau dibangkitkan. Masa lampau hadir bersama masa kini dan impian-harapan masa depan. Celakanya, masa lampau yang (di)hadir(kan) senantiasa berupa kepingan-kepingan yang tidak utuh dan tambal sulam disana sini, sehingga provinsi yang kesannya Islami ini tumbuh dengan kosmetik yang menor di sana sini. Kepingan-kepingan lainnya yang boleh jadi sesungguhnya adalah bagian penting dan utama dari sejarah dan kebudayaan Maluku Utara dengan seluruh kebesarannya pada masa itu justru ter(di)sisihkan, ter(di)abaikan, bahkan ter(di)lupakan. Pada titik ini, Maluku Utara beserta seluruh sejarahnya, disadari atau tidak, telah dirumuskan secara serampangan dan irasional. 

Contoh kecil dari ter(di)sisihkannya (bahkan seperti sirna begitu saja) bagian sejarah dan kebudayaan Maluku Utara adalah soal tradisi ke-Islaman yang menjadi ciri dan identitas budaya tanah para sultan ini sejak jaman behuela.

Sejak pertengahan abad ke-15, Islam telah diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin yang pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan. Sultan Zainal Abidin juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate.

Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, lembaga kerajaan dibentuk sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. 

Kini setelah ratusan tahun waktu berlalu, kita bahkan tak tahu bahwa kesultanan Ternate merupakan kesultanan Islam pertama sebelum Majapahit lahir yang wilayahnya mencakup seluruh kepulauan Maluku, Irian Bagian Barat, Nusa Tenggara, Sulawesi, Sambas dan Singkawang bahkan sampai ke Philipina Selatan.  Kita lebih tak tahu lagi bahwa dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.

Jazirat Al-Mulk yang telah meninggalkan tapak-tapak sejarah yang panjang itu, kini sirna di gerus waktu. Perlahan namun pasti kepingan sejarah ini nyaris tak pernah disebut, dihadirkan, dan disebarkan ke wilayah publik. 
Apakah ke-Islaman bukan sesuatu yang penting untuk dijadikan identitas bersama makhluk manusia di bumi Allah yang bernama Jasirah para raja ini? Atau barangkali kita, manusia Maluku Utara, lebih memilih ketelanjangan ketimbang ke-Tauhidan sebagai identitas bersamanya?

Beranikah kita bersikap sebagai Jose Arcadia Buendia, tokoh dalam novel Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, yang memandang masa lalu dan masa kini sebagai kenyataan yang tak terberi begitu saja dan membongkar habis fase-fase sejarah untuk menemukan kembali diri sendiri yang sesungguhnya, yang sejati? 

Ataukah kita memang hanya sengaja memasang slogan Madani di jidat kota sambil dengan sadar mempraktekkan kemesuman dan penistaan atas nilai-nilai. Membangun masjid-masjid sebagai tempat menyepuh dosa setelah lelah berkaca pada pala-pala putih dan body perempuan nan poco-poco di keremangan warung yang meraja dari ibukota provinsi sampai ke pelosok Halmahera?. Ataukah memang symbol-symbol keluhuran itu telah luntur maknanya dan hanya menjadi atribut kampanye para petinggi kesultanan?
Live is to interpret, hidup adalah menafsir, kata filsuf Heidegger. Maka mari kita memberi tafsir baru pada sejarah dan kebudayaan Maluku Utara dengan meletakkan ke-Islaman sebagai esensi yang layak dipertahankan dan dikembangkan pada hari ini menuju masa depan. 

Mari membongkar sejarah, menafsirkannya secara baru dan cerdas, menemukan insight (keinsafan/kebenaran) baru, dan mencipta sejarah masa kini dan masa depan Maluku Utara yang lebih emas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar